SOCIAL MEDIA

Sunday, July 7, 2019

Melepaskan Anakku dari Ketergantungan Gadget

Bisakah Andin anteng tanpa gadget?

Mungkinkah Andin mau makan tanpa nonton youtube?

Hasil gambar untuk gadget
Gambar diambil dari Google


Adalah dua hal yang dulu sering saya tanyakan ke diri sendiri, berulang kali. Saya sadar betul, yang mengenalkan Andin pada gadget ya saya sendiri. Mulai dari youtube, game sampai apalah yang asal bisa buat Andin tenang. 

Sejarah Andin terpapar gadget itu karena 3 hal :

1. Andin Susah Makan

Hasil gambar untuk makan sambil nonton youtube
 Gambar diambil dari Google

Saksi hidupnya ya suami. Kami merasa segala macam cara sudah saya dan suami lakukan. Mulai dari vitamin penambah nafsu makan yang murah sampai yang harganya buat saya nggak masuk akal. Sampai salah seorang dokter anak yang sudah professor di Jogja menyampaikan, “setiap 3 suap nasi yang masuk ke mulut Andin itu harus kami syukuri luar biasa”.
Kebayang kan susahnya? ๐Ÿคช

Dari tekstur makanan versi halus sampai metode BLW (Baby Led Weaning). Dari masak 1 porsi sampai per sesi makan masak 3 menu berbeda sekaligus. Dari cek ke tumbuh kembang di salah satu rumah sakit besar di Jogja, sampai therapy ini itu. Akhirnya saya membuat pembenaran, youtube jadi jalan keluar. Kalau ada yang nyela, complain, rasanya pengen saya gapruk, “lu nggak ngerasain si susahnya kasih makan anak 1 sendok aaaajaaaaa!”. Bahkan urusan makan dulu itu ngebuat saya trauma. Lebih baik saya kerja dari nol, daripada ndulang anak. Sungguh. Saya sampai trauma punya anak. Tiap sesi makan Andin, justru saya yang drop, nangis duluan. Tambah omongan sana-sini, yang dibawah garis merahlah, yang anaknya kok kuruslah, daaaan lain-lain.

Tapi sebetulnya sekarang saya sadar, Andin susah makan bisa jadi ketularan emosi saya. Stress berkepanjangan, nggak bahagia menjalani peran. Buktinya setelah saya mampu mengelola emosi dengan apa yang diajarkan di Enlightening Parenting, mampu menciptakan suasana makan yang menyenangkan, dan membangun kedekatan ya dia nggak sesusah omongan saya dulu itu. Dan tidak menutup kemungkinan juga karena berbagai macam therapy yang dulu Andin lakukan, ada fisio, okupasi bahkan terapi wicara. Saking judegnya saya ๐Ÿ˜‚๐Ÿ™ˆ

2. Saya Malas

Ya malas berupaya, ya malas dalam memanage diri.

Iya, saya malas banget itu kudu berupaya lebih dengan bikin kesepakatan sama Andin, menyiapkan kegiatan menyenangkan, apalagi kok mbriefing & roleplaying kalau sayanya mau melakukan tugas rumah, kek masak, isah-isah, nyetrika dan kawan-kawannyalah.
Selftalknya ni, “masa ya udah capek tenaga, masih suruh mikir juga. Hellooooooow”.
Jadi, mending setelin tv tentang film yang saya download di youtube.
Anak anteng, kerjaan saya juga beres.

3. Saya Egois

Dulu saya itu ibu yang nggak menikmati peran jadi ibu. Padahal saya ibu yang cukup lama diberikan keturunan, bahkan pernah mengalami keguguran. Setelah diamanahiNya, justru saya merasa Andin menyita seluruh hidup juga cita-cita saya. Jadi, saat kumpul sama teman ya saya pengen meluapkan cerita, haha hihi ria, plus balik ke poin nomor 2, males berupaya tadi.

Males banget suruh mbriefing & roleplaying, apalagi nyiapin ragam aktivitas, bawaannya jadi banyak kan. Duh, nggak kece amat pakai tas gede-gede. Tambah pula rentang konsentrasi usia Andin ini maksimal 30 menit, jadi daripada dia ngeregek minta pulang padahal saya masih pengen haha hihi riang, ya gadget jadi pilihan gampang. Hahaha..
Siapa mau toss sama saya? ๐Ÿคš๐Ÿ˜

Lalu saya membenarkan diri, “nggak papa deh nonton youtube. Yang penting mau makan. Youtubenya juga bahasa inggris, biar Andin faseh. Videonya juga udah saya pilihin. Setelin di tv, jadi tanpa iklan yang ndrawasi”.

Lambat laun mulai “tertampar”. Andin sering bertanya hal-hal yang tidak sesuai value yang ingin saya masukkan. Contohnya : di salah satu film popular anak-anak dan saya termasuk orangtua yang merasa aman-aman saja, ternyata ada adegan si tokoh berperilaku tidak sesuai fitrah seksualitasnya.
Di film lain yang tokohnya hewan-hewan ada adegan yang menurut saya nggak pantas dilihat Andin. Dan mulailah Andin mempertanyakan ini itu.

Akhirnya saya mulai bertanya ke diri sendiri,  manfaat apa yang saya dapat dari memberikan gadget ke anak?
Atau justru sekarang saya yang dimanfaatkan gadget?  
Kalau urusan bahasa inggris, iyakah youtube satu-satunya cara? 
Kalau urusan makan, sudahkah saya maksimal di perubahan diri sendiri? 
Lebih besar mana, manfaatnya atau mudharatnya? 
Atau justru sekarang saya yang dimanfaatkan gadget?

Karena Andin ngerengek saat minta gadget, baik hp, tab, maupun tv. Nggak kenal tempat, di mobil, pas makan di luar, maupun di rumah. 4x makan, kalau tiap makan 1 jam, berarti dalam sehari minimal Andin 4 jam bergadget ria, belum saat naik mobil, belum saat saya isah-isah, setrika, ngepel. *tepok jidat

Akhirnya saya mulai diskusi sama suami, sepakat bersama-sama mulai mengurangi. Sampai akhirnya sepakat ruang tengah kami tanpa tv.
Iya nggak mak bedunduk. 

Jadi, mulailah saya ikhtiar berubah dengan 5 pilar Enlightening Parenting :

1. Mengelola Emosi

Pilar pertama dalam mengelola emosi itu betul-betul membantu saya dalam menghadapi acara makan Andin. Ada banyak tekhnik yang diajarkan di EP training, bahkan saya sampai membuat anchor, terus sempat juga melakukan perceptual position sendiri hanya untuk bab makan Andin. Apa aja deh saya terapin, karena bab makan ini cukup menguras emosi buat saya pribadi. Lagi-lagi ini nggak mak bedunduk langsung haha hihi, sabar bak mimi peri ๐Ÿ˜…
Perlahan tapi pasti saya mulai nemu selahnya menerapkan tekhnik-tekhnik mengelola emosi EP. Tekhnik ini bisa dibaca juga di buku The Secret of Enlightening Parenting.


2. Fokus Pada Tujuan

Tentukan tujuannya. Targetnya apa, kira-kira mampu apa nggak, hambatannya apa. Tadinya saya menggebu-gebu mau langsung jebles “NO GADGET”. Hahaha..
Tapi saat diskusi dengan suami, justru beliau mengingatkan tentang “mendidik nggak mendadak”, pelan-pelan katanya. *sungkem Bapak Hen
Akhirnya kami sepakati tahapannya, mengurangi satu demi satu waktunya. Ini sebetulnya lebih naancheeup lagi pakai well-formed goal yang diajarkan di kelas Transforming Behavior Skill oleh mbak Okina Fitriani.

3. Minta Maaf

Saya duduk berdua dengan Andin, meminta maaf tentang aktivitas gadget tanpa aturan ini. Karena sayalah sumber masalahnya. Lalu bertahap mulai menceritakan apa yang saya rasakan pada perubahan sikap Andin dan meminta Andin membantu saya mengurangi gadget. Jadi titiknya itu di saya, bukan Andin, karena yang salah kan saya. Saya juga mengurangi itu HP-an, nggak nonton drakor-drakor-an, delete semua game di HP.

Lalu secara bertahap juga saya tanya, apa yang bisa kami lakukan saat kok kepengen banget main gadget, Andin meminta saya menemaninya bermain, nggak sibuk sendiri. hahaha… jebul!

4. Bangun Kedekatan

Saya pakai cara-cara yang ada di buku Ep, salah satunya “AKU UNTUKMU”. Apa itu “aku untukmu”? ada dipostingan saya dengan judul yang sama, klik di Sini.

“Bangun kedekatan” yang saya lakukan sebetulnya nggak bertujuan untuk bab gadget. Tapi justru dengan semakin kami dekat, Andin merasa nyaman dengan saya. Omongan saya mulai didengar olehnya.

Saya juga kok ya jadi sedikit (seeediiiikiiit) kreatif. ๐Ÿคช
Ada aja ide aktifitas berdua untuk menghindari dari ‘bosan’ yang berujung kepengen gadget tadi.

5. Tahapan mengurangi screen time :

Bikin kesepakatan dengan Andin. Saya cerita tahapannya dan Andin nego pengganti gadget itu apa. Salah satunya, makan sambil baca buku cerita. Maka, saya menyediakan diri, ngoceh cerita berbuku-buku, bahkan sampai bikin panggung drama boneka tangan demi mengganti si gadget tadi.

Tahap Pertama.

Awalnya mengurangi waktu gadget diluar jam makan. Contoh : saat saya masak, maka saya buat kesepakatan, menyiapkan mainan, memanage waktu agar timer bunyi itu masakan dah beres.
Tentu nggak bisa masak kek masterchef, paling  nggak, layak buat dimakan deh. Dan konsekuen alias kalau udah bikin kesepakatan menyudahi masak memasak saat timer bunyi, ya saat timer bunyi maka focus membersamai Andin.

Ini beres lanjut ke tahap berikutnya.

Tahap Kedua.

Mengurangi waktu gadget di luar rumah. Dulu karena Andin tantruman, saya ketar-ketir kalau naik mobil, apalagi cuma berdua. Kalau gidroh, kan bahaya sis. Jadi, dulu itu ya begitu naik mobil udah saya kasih HP. *tutupmuka

Ini saya benahi dengan salah satu metoda instalasi di Enlightening Parenting, yaitu briefing and roleplaying berkendara dan briefing and roleplaying kegiatan tujuan.
Misal pergi belanja sayur, dll. Didalamnya ada kesepakatan juga menyiapkan apa aja untuk aktivitas. Yang terpenting saya nggak egois memaksakan kehendak, karena rentang konsentrasi usia Andin kan 20-30 menit, maka saya berusaha nggak pergi lama-lama. Perginya bukan jam Andin ngantuk plus sebelum pergi saya usahakan Andin sudah makan, perut kenyang, maka tantrum karena lapar terselesaikan.

Ini juga saya pakai ketajaman indra ala EP. Jadi kalau sudah mulai muncul tanda-tanda lelah ya bergegas pulang, nggak kider cari pajangan. Hahaha..

Tahap Ketiga.

Mengurangi gadget untuk tiap sesi makan. Jadi karena Andin makan besar 3x (pagi, siang, sore) plus 1x makan snack (malam) dan setiap sesinya harus bergadgetan (nggak selalu yutub, kadang game, yang penting Andin mau mangap), maka minimal 4 jam terpapar gadget setiap hari (per sesi makan kira-kira sejam).

Saya kurangi dari yang paling mudah, yaitu makan sore, karena kalau pagi rungsing mau sekolah, kalau siang keburu ngantuk dan kalau malam, saya yang lelah. Hahaha… ๐Ÿ˜

Setelah ini oke, lanjut ke mengurangi gadget di makan siang, lalu makan pagi, makan snack dan terakhir justru makan sore.

Mudah nggak?
Jujur uuuaangel tenan ๐Ÿคง
Apalagi menggugurkan secondary gain itu. Iya tanpa sadar saya menikmati Andin beryoutube, karena saya bisa tenang le masak.
Saya bisa haha hihi ngobrol sama kawan.
Saya bisa nyuapin dengan lebih mudah.

Tanpa youtube, saya harus bikin kesepakatan saat mau masak. Kudu menyiapkan mainan, pakai timer tanda kesepakatan saatnya menyudahi masak dan menemani Andin.
Tanpa youtube, saya nggak bisa berlama-lama haha hihi saat kumpul dengan teman. Bahkan saat harus berkumpul dengan beberapa kawan yang anaknya masih berjibaku dengan youtube, maka saya menyediakan diri menemani anak-anak ini bermain, menyiapkan aktivitas bersama dan rela tertinggal obrolan seru nan haru.
Tanpa youtube, saya harus berpikir puluhan cara agar sesuap nasi bisa lancar masuk ke mulut Andin.

Nah, makanya saya bilang, buat saya menggugurkan secondary gain itu yang susah.
Maka, pilihannya mau atau tidak!

Alhamdulillah mbak Okina Fitriani dan seluruh alumni EP adalah lingkungan yang memberdayakan, ditambah restu suami. Beragam sharing pengalaman aplikasi dari alumni menguatkan saat saya mulai drop, pengen nyerah nerapain ini itu.

Apalagi ni ya kalau habis ngeliat temen yang santai-santai aja ngasuh anaknya, nggak pusing tentang ini itu, membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar.
Njuk mikir, jangan-jangan saya ini terlalu ribet kali ya.
Jangan-jangan saya ini standarnya ketinggian kali ya.
Udah aja apa ya. Gitu deh ๐Ÿ˜

Lalu kemarin ada yang tanya, “terus suaminya ngapain, Mbak?”.
Suami saya itu tugas utamanya mencari nafkah. Kehadirannya antara ada dan tiada alias kadang ya diluar Jogja. Jadi, focus upaya perubahan memang di saya sendiri. Kalau perubahannya nunggu beliau siap, entah kapan dimulainya. Siapa yang mau toss sama saya? ๐Ÿคš๐Ÿ˜

Dulu pengennya ya kalau saya susah, beliau juga susah. Tapi Alhamdulillah sadar diri, cerita lengkapnya bisa dibaca di postingan “Kue Enak vs Kue Nggak Enak”Jadi, apapun yang saya lakukan, utamanya minta doa restu suami kesayangan.

Doa itu kekuatannya dahsyat, apalagi tambah restunya. Bisa jadi, saya bolak-balik bangkit dari menyerah itu karena doa beliau juga. 

Berapa lama baiknya screen time sesuai usia anak? Silahkan bisa googling di American Academy of Pediatrics. Dan mbak Okina Fitriani (founder Enlightening Parenting) pun sudah pernah membahasnya di blog beliau, www.okinafitriani.com dengan judul “Mencegah dan Mengatasi Kecanduan Gadget Pada Anak-anak”. Silahkan langsung ke blog beliau untuk detailnya.



                                                Youtube : https://youtu.be/JsateFnRJgo

Tulisan ini pernah diposting di instagram @nuriiaprilia, klik disini.

Sholat Ied Damai nan Tentram Tanpa Rengekan Balon & Mainan

Siapa yang kalau sholat ied, anaknya liat balon minta balon?
Liat mainan, minta mainan?
Siapa yang galau, mau dibeliin tapi di rumah udah bejibun balon, bejibun mainan?
Eh nggak dibeliin, anaknya gidroh-gidroh?

Jalan muter kanan, ketemu penjual balon.
Jalan muter kiri, ketemu penjual mainan.
Njuk ngresula, “kenapa nasibku selalu dipertemukan dengan sang penjual balon dan mainan?”
Hahaha...Bahkan salah langkah bisa “bubar jalan”, atau justru jadi “tontonan”.
Duh! Saya bangeeeet! Hahaha...

Lalu gimana dong?




Sebelum kenal Enlightening Parenting ya saya begitu itu. Bahkan tahun lalu, Andin sempat nangis mbengok-mbengok, karena pulang sholat ied, eh balon di tangan, terbang tanpa permisi. Akhirnya Oma Opa jadi pahlawan. Muter keliling Purwokerto nyari penjual balon, asal cucu bisa tersenyum senang, apapun dilakukan. Padahal di rumah ya udah beranak pinak beberapa balon. Yah, dibilang lebay, ya memang kenyataannya begitu. Dibilang kok anaknya gitu itu ya, lha memang simboknya ini nggak nyiapin what-if scenario apapun. Males bok. Hahaha...

Jadi salah siapa dong? *tunjuk hidung sendiri

Maka, belajar dari pengalaman yang sudah sudah. Tahun ini selain doa memohon keselamatan, saya juga persiapkan segala ubo rampe sajen selama di Purwokerto dengan BRIEFING & ROLEPLAYING.

Saat di Jogja, saya udah tanya, selama di Purwokerto, Andin mau beli apa aja sama Oma?
Jawabannya balon, mainan, dan jamu. Maklum, Andin ini demen betul nemenin Omanya ke pasar dekat rumah. Disanalah “surganya”. Mainan yang menurut saya, “halah gini aja dibeli”, lain perkara buat Omanya. Asal cucu senang, asal cucu bahagia. Konon, begitu aturannya. Ehem.

Maka, saya buat kesepakatan. Saya ingatkan bahwa Opa sekarang sudah pensiun dan Oma-Opa sakit ini itu. Andin ngeh soal ini karena beberapa kali Andin sendiri jadi saksi saat Oma Opanya sakit. Andin minta ijin beli ini itu sama Oma-nya. Saya mengijinkan Andin mengiyakan tawaran “surga” dari Oma Opa. Tapi saya pun punya syarat.

Apa syaratnya?

Satu. Saya mengijinkan Andin mengiyakan tawaran “surga” dari Oma Opa. Tapi saya pun punya syarat, “boleh nggak belinya salah satu aja, mainan atau balon?”. Andin setuju, mengiyakan beli balon aja dan Andinpun punya syarat balik. Hahaha…
Andin minta membawa beberapa mainan dari Jogja sebagai ganti nggak lagi membeli mainan di Purwokerto. Setuju. Mulailah kami memilah mainan mana yang perlu dibawa.

Roleplaying deh untuk para penjaja “surga” yang bakal sering Andin temui di Purwokerto, bahkan tawaran yang paling susah ditolak, karena justru datang dari Oma-Opanya tanpa Andin minta.

Dua. Setelah sampai Purwokerto, saya ingatkan soal kesepakatan tawaran “surga”. Cek pemahaman terakhir kali di depan Oma Opanya. Dan saat pergi sama Omanya ke pasar, pulanglah dia dengan bawa satu balon ๐ŸŽˆ

Saat di pasar Andin liat mainan nggak? Liat.
Ditawarin mainan nggak sama Oma? Oooh pastilah.
Apa jawaban Andin?
Konon kata Omanya Andin menolak dan bilang “nanti Andin beliin balon aja ya Oma, satu”.

Lalu saat dengar pengumuman ketetapan 1 syawal, saya ingatkan Andin tentang “sholat hari raya”. Ini bukan pertama kalinya Andin ikut sholat ied, apalagi tahun lalu sholat bareng sahabat saya dari Belanda, Danae. Jadi, Andin ingat betul momennya. Saya tinggal ceki ceki beberapa poin. Sholatnya dimana, cara sholatnya, setelah sholat ngapain.

Tiga. Roleplaying termasuk cara membangunkan karena akan bangun lebih awal, mandi lebih pagi dan uborampe yang akan dibawa kalau tidak sempat sarapan pagi. Nah, saya ingatkan juga bahwa nanti di tempat sholat ied ada banyak penjual balon juga mainan. Andin mau gimana? Andin ingat sudah beli satu balon di pasar, maka dia nggak akan meminta balon lagi.

Empat. Saya tanya lagi, kalau liat kakak-kakak beli balon gimana?
Andin meyakinkan nggak akan minta karena dirumah sudah ada balon.
Lalu saya tanya lagi, kalau Andin kepengen banget beli balon gimana? Andin minta saya ajak dia jalan-jalan ke lain tempat. Saya setuju dengan syarat setelah sholat selesai. Sepakat.

Lalu kenyataannya gimana? 
Seindah bayangankah? 
Atau ndremimilnya sia-sia belaka?


Taaaraaaa....
Hari rayapun tiba.
Alhamdulillah dimudahkanNya sholat ‘ied berjalan lancar.
Penjual balon ada dimana-mana sejauh mata memandang.
Aaajaaaibnya (aajaaaib!) nggak ada permintaan apalagi rengekan beli balon.
Andin melihat penjual balon dengan santainya dan bilang “Andin udah punya di rumah ya, Ma”.

Sejujurnya kalaupun ternyata briefing & roleplaying ini gagal pun akan tetap saya posting. Siapa tau yang baca jadi nggak gagal. Biar saya aja yang menanggung kegagalan dan dahsyatnya godaan penjual balon hari raya. *peluk dilan *halah

Masyaalloh, Alhamdulillah Alloh swt mampukan segalanya.

Nah, selesai sholat ied ajang kumpul keluarga.
Andin akan ketemu banyak saudara, banyak tetangga.

Saatnya silaturahmi ke sana-sini.
Gimana caranya saat bertemu sanak saudara?
Gimana caranya menjadi anomali saat semua bergadget ria?
Gimana tv di rumah Oma-Opa tidak pernah nyala saat Andin ada?

Insyaalloh ditulisan selanjutnya ya.

Tulisan ini pernah diposting di instagram @nuriiaprilia :

Briefing & Roleplaying Sholat Tarawih di Masjid di Bulan Ramadhan


Ini adalah posting saya di instagram di penghujung ramadhan tentang salah satu metoda instalasi di Enlightening Parenting, yaitu Briefing & Roleplaying.

Beberapa waktu yang lalu saat buka puasa bersama, ada kawan yang menggoda. Menurut kawan saya ini, hidup saya kok isinya cuma briiiiefiiing & roooleeeplaaaaying melulu. Dikit-dikit briefing, dikit-dikit roleplaying. Anak itu mbok dibiarkan sak-saknya. Hahaha…

Sebetulnya apa yang kawan sampaikan ini, pernah terlintas dipikiran saat awal tau Enlightening Parenting. Melihat beberapa postingan alumni (saat itu saya belum jadi alumni), baca buku The secret of Enlightening Parenting juga a Parents Diary, saya mbatin, “halah ribet amat hidupnya. Dikit-dikit briefing. Dikit-dikit roleplay. Mbok yasudah”. Terus nggromed ih TGTBT (Too Good Too Be True). Beuugh… ๐Ÿ™ˆ๐Ÿ˜…

Alhamdulillah setelah ngerasain sendiri dahsyatnya briefing & roleplaying jadi insyaf. Tobat nyinyir-nyinyir. Kalau kata mbak Okina Fitriani, anak kritis memang kekinian, tapi anak nyinyir itu kurang didikan.
Lha kalau mboknya nyinyir? Silahkan direnungkan. Hahaha…

Wiiih, dulu saya juaranya jadi tontonan karena Andin tantruman. Kaget dikit, nggak sesuai bayangannya maka gidroh-gidrohlah dia. Jebul itu bukan salahnya, tapi Mamanya yang malesan. Males cari ilmunya, males juga nerapinnya. Hahaha…

Saya ketagihan mudahnya menghandle Andin dengan menerapkan briefing & roleplaying sebelum ke suatu tempat atau kegiatan. Andin pun merasakan hal yang sama. Nggak kaget menghadapi hal baru, nggak bingung saat sikon berubah, karena sudah ada gambaran.

Di briefing & roleplaying ada yang namanya what-if scenario. Kalau A gimana, kalau B gimana dan ya memang kudu detail. Repot di awal, tapi hasilnya semudah saya nunjukin alarm hp yang bunyi, tanda waktu main sudah usai, “saatnya pulang, nak”. Lalu Andin dengan mudahnya say goodbye ke temen-temennya, “Andin udah ya mainnya. Mau pulang. Byeeee”.
Udah deh pulang. Damai.

Begitupun soal tarawih. Ini bukan pertama kalinya Andin tarawih di masjid. Tapi dulu usianya masih 3th dan sudah lupa katanya. Ingatnya sholat di masjid ya sholat wajib yang maksimal 4 roka’at. Daripada saya berharap sama jam’ah lain, “maklum to anak saya rewel. Maklum to anak saya pecicilan. Namanya juga masih anak-anak”. Mending saya menyiapkan Andin agar punya kenangan yang menyenangkan, bukan kenangan yang menyebalkan.
Berusaha menyiapkan, bukan mengharapkan pemakluman.
Agar Andin bukan jadi topik gunjingan yang menurunkan kemuliaannya.
Persiapan tarawih ini saya mulai dari awal Ramadhan.

1. CERITA

Saya cerita ke Andin keistimewaan bulan Ramadhan. Apa yang berbeda di bulan Ramadhan, termasuk tarawih. Alhamdulillah ini dimudahkan dengan buku kiriman dari sahabat saya, Tiea. Makasih banyak dinda.

Saya sampaikan ke Andin, tarawih di masjid dekat rumah itu 8 roka’at dan 3 roka’at untuk witir. Awal Ramadhan kami sholat tarawihnya masih di rumah, di imamin Bapak hen. Buat nunjukkan ke Andin, “ini lo nak, 11 roka’aat itu begini. Lamanya kira-kira selama ini”.
Saat isya’ ke tarawih, saya minta juga Bapak Hen roleplay tausyiah singkat. Makasih Bapak Hen. Jadi, Andin ada gambaran briefing saya soal tausyiah pasca sholat isya’ sebelum tarawih.

Oiya, Andin sudah tau gambaran masjidnya karena sering ke masjid buat sholat wajib. Jadi, saat saya bilang “kalau nanti Andin sumuk, gimana?”. Andin sudah siap-siap bawa kipas angin kecil yang bisa dicharge itu lo. hahaha ๐Ÿคฃ

2. SAAT DI MASJID

Saya tunjukkan ke Andin tentang keistimewaan masjid. Apa yang dilarang dilakukan di masjid, gimana baiknya di dalam masjid. Sampaikan alasannya juga. Simple-simpel aja, karena otak saya juga terbatas nyampein yang belibet-belibet. Hahaha...

Andin itu lebih mudah taat aturan saat paham alasan atau tujuannya, jadi nggak bisa cuma “jangan gini ya nak, jangan gitu ya nak”.

Saya tanya juga, jadi kalau lari-lari itu gimana ya, Ka?
Tadinya saya ada pilihan, mau lari-lari sebelum sholat atau sesudah sholat sama kakak-kakak?
Tadinya saya ada pilihan, mau lari-lari sebelum sholat atau sesudah sholat sama kakak-kakak?
Tapi, ternyata Andin menjawab, “Andin nggak mau lari-lari. Nanti capek mau sholat. Selesai sholat mau pulang nemenin Mama jalan (kaki)”.
Mama (M) : Kalau ada yang ngajak main gimana, ka?
Andin (A)  : Tunggu ya, Andin mau sholat dulu. Jangan diganggu ya.
M              : Kalau kakak-kakak maksa gimana?
A               : Mama bantuin Andin bilang ya.
M              : Coba ya, Mama jadi kakaknya, Andin sholat disitu.

Roleplaying deh.

Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan itu semuanya murni dijawab Andin sendiri. Mungkin karena di tahap TELL sudah saya info-info keistimewaan bulan Ramadhan, tarawih juga adab masjid, dll.

3. TANDA KALAU BOSAN

Saya sampaikan ke Andin, “nak, kalau Andin bosan terus rewel ngerengek, itu bisa ganggu orang lain yang ada di masjid.
Jadi, kalau Andin bosan baiknya gimana ya biar Mama tau, tapi nggak ganggu orang lain?
Andin (A)   : (mikir) Andin kalau bosen dengerin ngomong (kultum), boboan aja ya, Ma? Gini (praktek tiduran di pangkuan saya)
Mama (M)  : Boleh. Kalau udah boboan terus masih bosen gimana?
A                : (mikiiiiir lama, pas saya gatel pengen kasih ide eh dia jawab sendiri) Andin grawut-grawut tangan Mama ya? kaya gini (praktek).
M               : Ah iya. Terus kalau Andin bosen yang grawut-grawut, Andin pengennya Mama gimana?
A                : Pulang?
M               : Boleh.
                    Cobain yuk, ceritanya Andin bosen ni dengerin ngomongnya (kultum).

Roleplaying deh.

Karena ini tahap latihan tarawih di masjid, jadi saya sepakat ke Andin setiap dia grawut tangan saya, itu saya akan siap sedia untuk pulang. Saya juga minta ke Andin, ngelanjutin tarawih yang belum selesai begitu sampai dirumah. Sepakat.

M              : Kalau Andin bete atau marah sama temennya gimana ya nak biar Mama tau bedanya sama bosen?
A               : Andin bisikin Mama aja ya gini, “Ma, kakaknya nyebelin, Andin nggak suka”. (praktek bisik-bisik. Hahaha…)

Alhamdulillah tarawih lancar sampai selesai witir. Tapi, Andin sempat mogok ke masjid karena ada adek bayi yang baru belajar jalan dan minta sama Andin terus. Alhamdulillah tarawih lancar sampai selesai witir. Tapi, Andin sempat mogok ke masjid karena ada adek bayi yang baru belajar jalan dan minta sama Andin terus. Padahal Andin udah bilang dan ajaibnya dia bilang sama adek bayinya ini sambil jongkok sejajar mata adek bayi, “adek, Andin mau sholat. Adek sama Mamanya adek aja sana ya”.
Andin  bopong balikin ke Mamanya si adek bayi. Eeeh, adek bayinya balik lagi ndemprok di sajadah Andin. Gitu terus, baik saat kultum maupun saat sholat.

Karena saya liat Andin jadi keganggu, maka saya tanya ke Andin, “mau Mama bantu bilang ke Mamanya adek bayi?”, kata Andin nggak usah. Entah kenapa juga Mamanya adek bayi itu kok ya cuek ya.
Akhirnya saya dan Andin evaluasi, gimana biar tetap bisa sholat di masjid tanpa diganggu adek bayi. Ternyata “tantangannya” nggak cuma kakak-kakak, tapi ada adek bayi juga. Hehehe…

Akhirnya Andin minta sholat di dalam masjid, shaf pojok depan. Area yang jarang ada anak-anak. Jadi, ada dua tempat shalat di masjid, di dalam dan luar. Saya tadinya sholat di bagian yang luar.
Lain tarawih di Jogja lain pula di Purwokerto, karena ternyata tantangannya justru dari orang-orang terdekatnya. Hehhe...

Alhamdulillah banyak belajar dari ramadhan tahun ini, semoga bertemu kembali tahun depan ♥️ 



Tulisan ini pernah di posting di Instagram @nuriiaprilia :

Friday, May 31, 2019

Merajut Cinta Orangtua & Mertua

Tulisan ini adalah sedikit dari sekian banyak insight kelas Enlightening Parenting Sharing Special "Merajut Cinta Orangtua & Mertua" yang dilaksanakan Kamis, 30 Mei 2019 di Lafayette Boutique Hotel Yogyakarta. Kelas kedua yang saya ikuti dengan tema yang sama. Pertama kali mengikuti itu saat bulan Ramadhan tahun lalu dan baru Ramadhan tahun ini terlaksana lagi.



Alhamdulillah. Saya bersyukur luar biasa kemarin bisa ada di dalam ruangan mengikuti Enlightening Parenting Sharing Kelas Spesial Merajut Cinta Orangtua & Mertua (MOM) bersama mbak Dini Swastiana, mbak Novi Herdalena, juga teman-teman team Enlightening Parenting sharing Jogja.


Kelas MOM kali ini betul-betul luar biasa.
Materinya runtut, slide juga videonya masyaalloh bagus betul. Penyampaian alurnya ngena dan sangat santun, plus ditambah kelas ini ngajarin tekhnik. Memang yang dibuat dan diniatkan sepenuh hati pasti akan terasa “beda”. Barokallah tim MOM EP.


Saya ini ibu yang baru memiliki satu anak.
Siapa sini yang mau ngebantah kasih sayang saya yang tiada tara sama Andin? ๐Ÿคจ
Minum susu dipipetin sampai 100x pipet 1ml-an, asal perut Andin terisi aja saya jabanin.
Deeeemiii…Deeeemiii…



Dan kelas ini mengingatkan saya, bahwa mertua itu juga orangtua. Mama Papa saya, juga Mama Papa suami adalah orangtua. Rasa sayang mereka saat mengandung, merawat, membesarkan, memberikan yang terbaik, bahkan mendoakan pagi-siang-malam, juga melakukan apapun untuk kami, anak-anaknya, tiada terbantah. Bahkan hingga saya dan suami tak lagi jadi kewajiban mereka.



Rasa sayang saya ke orangtua jangan ditanya, apalagi Mama. Sekalipun dulu saya ada konflik dengan Papa, tapi kalau ditanya siapa lelaki paling baik dalam hidup saya? ya Papa. Orang yang selalu tergopoh-gopoh terbangun tengah malam, lari-lari membawa air putih untuk saya kecil yang pura-pura mimpi buruk, padahal sebetulnya cuma susah tidur.

Mereka mengalahkan banyak kepentingan mereka untuk saya kecil. Masyaalloh Pa, semoga kami jadi orangtua dimampukan sesabar Papa. Dan pikiran ini baru terbuka ya saat MOM pertama, tahun lalu.

Lalu hubungan saya sama MERTUA gimana?



Kemarin di kelas saya ceritakan apa sebab dulu saya begitu sakit hati dengan mertua. Semoga setiap menceritakannya dan perubahan yang saya rasakan menjadi kebaikan, kelapangan dan keberkahan yang mengalir pada kedua mertua saya. Di dalam kelas MOM, rasa di dada itu penuh, pengen peruk terus cium-cium mertua. Kelas ini membuat cinta saya bertambah beribu-ribu kali lipat.


Subhanalloh kalau ingat dulu itu, betapa teganya ya saya. Sesepuh itu masih merasakan sakit hati bahkan mungkin menangis karena tingkah lalu dan tutur kata saya, menantunya yang baru satu-satunya. Padahal begitu banyak kebaikan yang beliau lakukan untuk anaknya, yang sekarang jadi suami saya dan saya yang menikmati hasil jerih payahnya. Astaghfirulloh. Semoga Alloh swt berkenan mengampuni saya ini.



Pulang kelas itu saya senyum bahagia melihat mertua ngekek-ngekek main sama Andin. Cerita ke saya soal tingkah laku Andin selama saya ikut MOM. Dan sebelum berangkat MOM, saya minta doa restu juga dicium ubun-ubunnya oleh mereka sambil sungkem cium tangan. Alhamdulillah mereka masih lengkap dan Alhamdulillah jarak rumah kami dekat. Padahal dulu jarak rumah ini jadi siksaan karena konflik tiada terselesaikan, akhirnya sekarang jadi menyenangkan, karena dimampukanNya.

Nggak ada orang yang imun dengan kebaikan. 
Persuasi itu nggak boleh ngapusi.   
Jadi, percayalah saat mau persuasi ke mertua atau orangtua, tapi kok hati masih ngganjel, ya yang ada mangkel. Narik senyum, tapi ketok le manyun.



“Aku nggak mau mbak jadi ibu yang kaya ibuku. Ibuku itu blablabla…”

Eh lah jebul saat jadi ibu justru ngelakuin yang dilakuin ibunya dulu. Ternyata, jadi potensi mengulang rantai kesalahan yang sama.

“Aku anyel mbak sama mertua. Mertua itu blablabla…”

Lalu posting meme atau caption yang mencurahkan isi hati di sosmed, nyinyir sana-sini, cari pembenaran. Ndilalah lingkungannya mendukung. Badalah. Nggak selesai masalah, yang ada kepikiran terus, gregetan, lalu edan sendiri.


MAU SAMPAI KAPAN?

Siapa pemilik umur?
Siapa penggenggam hati?

Siapa pemilik jiwa?

Tentramkah memelihara rasa nggak nyaman?

Memelihara rasa nggak nyaman justru membuat kita berperilaku negatif dengan oranglain.
Yuk berikhtiar, selesaikan yang ngganjel-ngganjel. Mana ada maunya santai kaya di pantai terus berharap oranglain berubah? Lah, kata mbak Dini, itu jalan tol menuju kedepresian!


Hasil nggak akan mengkhianati ikhtiar. Tapi jangan lupa, hasil itu nggak cuma yang kelihatan di dunia.
Justru yang dicari akherat kan?

Pada saat memaafkan, itu nggak ada hubungan dengan orang yang menyakiti hati. 
Justru memaafkan itu menyembuhkan diri sendiri.

Mari memaafkan oranglain, bukan karena mereka layak dimaafkan, tapi karena kita kayak merasakan damai.


Tim Sharing Enlightening Parenting
Barokallah mbak Dini Swastiana juga tim MOM, terutama untuk guru kesayangan saya, mbak Okina Fitriani, founder Enlightening Parenting. Semoga segala kebaikan dan kemudahan tercurah bagi sahabat-sahabat saya ini juga mereka yang berkesempatan hadir di kelas kemarin karenaNya.


Tim Sharing Enlightening Parenting
Forgiveness Therapy Massal
Tulisan ini pernah diposting di instagram @nuriiaprilia :
Bagian 1 klik di sini.
Bagian 2 klik di sini.
Bagian 3 klik di sini.