Kalau AI Udah Bisa Ngajarin Semua,
Lalu Peran Kita Apa?
    Sebelum nyelamin lebih dalam tentang gimana Korea Selatan merevolusi pendidikan tinggi mereka dengan kecerdasan buatan, izinkan saya kenalin dulu sama sosok yang jadi narasumber utama di konferensi ICERI ke-13 15 Oktober 2025 kemarin. Oh Jin Park, atau yang sering dipanggil Joshua Park. Beliau ini akademisi dan praktisi pendidikan yang sekarang kerja di Jakarta International University sekaligus mendirikan 3PLINK International. Kredibilitas beliau bahas kebijakan AI dan pendidikan itu bukan tanpa alasan. Park udah sering jadi pembicara di berbagai forum internasional, termasuk di Yonsei University of Science & Technology tahun 2017 dalam seri kuliah publik “The Future of Humanity” yang juga ngundang pembicara dari Cambridge University dan Faraday Institute. Malah di tahun 2025 ini, beliau juga jadi pembicara di General Lecture di Jakarta International University bareng para pakar lainnya, ngebahas inovasi buat masa depan yang lebih cerdas dengan AI, blockchain, dan kewirausahaan berkelanjutan.
    Oh Jin Park nggak cuma paham lanskap pendidikan Korea Selatan yang udah maju banget secara teknologi, tapi juga tantangan pendidikan di Asia Tenggara. Kepakaran beliau ngerancang strategi pendidikan berbasis AI bikin beliau jadi referensi penting buat siapa aja yang pengen ngerti gimana teknologi seharusnya diintegrasiin secara bijak dalam ekosistem pembelajaran, termasuk saya yang berkecimpung di dunia pendidikan anak usia dini.
    Semua orang udah aklamasi lah ya tentang betapa pentingnya periode golden age ngebentuk dasar pembelajaran anak. Tapi pertanyaan yang terus ngganggu pikiran saya adalah gimana nantinya bisa nyiapin anak-anak buat dunia yang bakal mereka hadapi sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, di mana AI bukan lagi cuma fiksi ilmiah tapi jadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari?
Presentasi Oh Jin Park tentang AI literacy, ethical framework, dan human-centered approach menurut saya sangat applicable buat level pendidikan paling dasar. Mari saya kutuin satu-satu ya. Mulai dari sebuah momen tahun 2016, dunia ngeliat pertandingan bersejarah antara AlphaGo, sebuah program AI dari Google DeepMind, lawan Lee Sedol, salah satu pemain Go terbaik di dunia. Permainan Go, yang katanya lebih kompleks dari catur dengan kemungkinan langkah yang hampir nggak terbatas, selama ini dianggap sebagai area eksklusif kecerdasan manusia. Pas AlphaGo menang di pertandingan itu, bukan cuma pride Lee Sedol yang hancur, tapi paradigma tentang apa yang bisa dan nggak bisa dilakuin sama mesin mulai bergeser. Korea Selatan, sebagai negara tempat pertandingan itu berlangsung, ngerasain dampak psikologis yang luar biasa. Mereka sadar bahwa era AI bukan lagi bakal datang, tapi udah tiba di depan pintu.
    Momentum ini nggak disia-siain sama pemerintah Korea Selatan. Mereka paham bahwa buat bersaing di era baru ini, transformasi harus dimulai dari sistem pendidikan. Perjalanan AI sendiri sebenernya udah panjang banget. Dari tahun 1936 ketika Alan Turing ngenalkan konsep Turing Machine yang jadi akar dari komputasi modern, sampe tahun 1950 ketika beliau ngusulin Turing Test sebagai benchmark buat ngukur kecerdasan mesin. Terus ada tonggak penting di tahun 1958 dengan machine learning, chatbot pertama yang dipake tahun 1966, AI yang jadi advisor medis di tahun 1972, sampe kemenangan Deep Blue lawan Garry Kasparov di tahun 1997. AI juga mulai masuk ke kehidupan sehari-hari lewat televisi tahun 2011, bisa bikin panggilan telepon dan berdebat di tahun 2018, sampe akhirnya ChatGPT dari OpenAI meluncur di tahun 2022 yang bener-bener merevolusi cara manusia berinteraksi sama teknologi.
Menariknya adalah perkembangan AI nggak cuma terjadi di ranah komputasi murni. Nobel Prize in Chemistry tahun 2018 tenyata directed evolution, dan yang lebih bikin kaget lagi, Nobel Prize in Physics 2024 sama Chemistry 2024yang dapet adalah sebuah penemuan yang berkaitan sama AI, yaitu foundational discoveries dalam artificial neural networks dan protein design plus prediction pake AI. Ini nunjukin bahwa AI bukan cuma alat bantu, tapi udah masuk di berbagai disiplin ilmu. Sekarang adalah era GPT-5, sebuah generative pre-trained transformer yang bisa ngasilin teks, suara, bahkan gambar berdasarkan prompt. Perkembangannya terjadi secara eksponensial, bahkan lebih cepet dari adopsi internet di masa lalu. Landscape aplikasi AI udah beragam banget, dari generative AI kayak ChatGPT, DALL-E, sampe berbagai tools khusus buat riset, coding, desain grafis, dan masih banyak lagi. Dalam konteks pendidikan, pertanyaan besarnya bukan lagi apakah kedepannya bakal pake AI atau nggak, tapi gimana ngintegrasiin AI ini secara bertanggung jawab dan bijaksana.
    Oh Jin Park dalam presentasinya ngajuin pertanyaan-pertanyaan penting yang harus direnungkan bareng-bareng. Apakah teknologi itu netral? Gimana cara manusia masukin teknologi, khususnya AI, ke dalam kehidupan sehari-hari secara responsible dan wise? Apa sebenernya yang pengen dibangun? Buat apa tujuannya? Dan apa implikasinya? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan cuma retorika filosofis, tapi sangat praktis dan urgent buat dijawab, terutama dalam konteks pendidikan.
    Analoginya kayak Swiss Army knife. Pisau lipat Swiss yang multifungsi itu bisa dipake buat berbagai keperluan yang bermanfaat, dari buka kaleng, motong tali, sampe berbagai fungsi survival lainnya. Tapi di tangan yang salah, alat yang sama bisa dipake buat nyakitin orang lain. Teknologi pun gitu. AI bisa jadi alat yang luar biasa buat personalisasi pembelajaran, bikin pendidikan lebih accessible, atau bantu guru dalam administrative tasks sehingga mereka punya lebih banyak waktu buat interaksi sama siswa. Tapi AI juga bisa memperlebar kesenjangan digital, bikin ketergantungan yang nggak sehat, atau bahkan dipake buat surveillance yang invasif.
Respon publik ke isu-isu ini beragam banget. Oh Jin Park bahkan nulis dua buku tentang topik ini. Buku-buku itu isinya tentang kegelisahan sekaligus optimisme masyarakat Korea terhadap era AI. Mereka nggak mau ketinggalan dalam race teknologi global, tapi juga sangat aware dalam dimensi etis dan humanistik yang harus dijaga. Dalam konteks pendidikan tinggi global, ada beberapa isu krusial yang muncul terkait AI. Pertama adalah gimana AI mentransformasi proses belajar dan mengajar. Kita nggak lagi ngomongin pembelajaran yang one-size-fits-all, tapi personalized learning journey yang bisa disesuaiin sama kecepatan, gaya belajar, dan kebutuhan masing-masing individu. Kedua, pendidikan global lagi ngelakuin rethinking sama etika dan desain. Kita nggak bisa lagi ngajarin konten yang sama dengan cara yang sama kayak sepuluh tahun lalu. Ketiga, dan ini penting banget, adalah positioningAI sebagai partner dalam pendidikan, bukan sebagai competitor atau replacement buat pendidik manusia.
Framework literasi AI yang dikembangin sama Digital Promise nunjukin tiga mode of engagement yang saling terkait yaitu understand, evaluate, dan use. Ini bukan cuma soal pake AI tools, tapi paham gimana AI bekerja, bisa ngevaluasi output yang dihasilin secara kritis, dan kemudian pake dengan bijak. Kayak yang dibilang sama Lidija Kralj, seorang independent expert AI dan Data Education dari Croatia, ngintegrasiin literasi AI ke dalam pendidikan itu penting buat ngebekalin siswa dengan critical thinking skills yang diperluin buat paham, berinteraksi sama, dan berinovasi pake teknologi digital, sehingga nyiapin mereka buat berkontribusi secara lebih bermakna bagi masyarakat.
    Sekarang mari liat gimana Korea Selatan ngerespons tantangan ini. Bulan Juni 2025, mereka meluncurin National AI Strategy dengan target ambisius jadi salah satu dari tiga kekuatan AI terbesar di dunia tahun 2030. Ini bukan cuma mimpi kosong lah. Korea Selatan punya track record yang solid dalam transformasi berbasis teknologi. Mereka punya Sovereign AI Strategy yang jamin kedaulatan mereka dalam pengembangan AI, nggak sepenuhnya bergantung sama tech giants dari Amerika atau China. Mereka juga punya AI Education Roadmap yang udah jalan sejak 2020 sampe 2025, dan buka sekolah-sekolah pascasarjana khusus AI di universitas-universitas top kayak KAIST, POSTECH, dan Seoul National University.
Yang bikin pendekatan Korea Selatan unik adalah integrasi industri sama dunia akademis. Perusahaan-perusahaan raksasa kayak Samsung, LG, dan SK nggak cuma jadi pengguna lulusan perguruan tinggi, tapi aktif kolaborasi dalam research and development. Ekosistem 5G dan AI berkembang beriringan, bikin infrastructure yang support implementasi AI dalam skala masif. Fokus mereka bukan cuma aspek teknis, tapi juga perubahan mindset dan metode pembelajaran.
Filosofi pendidikan Korea yang baru adalah ngasilin lulusan yang bukan hafal pengetahuan, tapi tau gimana nyelesaiin masalah dan manfaatin tools yang ada. Mereka pengen mendidik orang yang nggak cuma pakai AI, tapi bener-bener paham dan bisa jelasin gimana AI kerja. Ini sejalan sama kebutuhan workforce di abad ke-21 di mana adaptability dan continuous learning jadi lebih penting dari cuma stock of knowledge. Seoul National University bahkan buka Department of AI-Integrated Education yang khusus ngelatih instructional design specialists dan teachers yang bisa ngintegrasiin AI dalam pembelajaran. Ini adalah investasi jangka panjang yang strategis banget. Gimana pun canggihnya teknologi, efektivitasnya dalam pendidikan sangat bergantung sama kualitas pendidik sebagai user.
    Transformasi Smart Campus juga jadi fokus utama. Universitas-universitas kayak Yonsei dan Hanyang ngimplementasiin AI dalam campus management dan tutoring, pake learning analytics dan predictive advising buat bantu mahasiswa. Bayangin sebuah sistem yang bisa memprediksi mahasiswa mana yang berisiko dropout berdasarkan pola kehadiran, nilai, dan engagement mereka, terus secara proaktif ngasih intervensi yang tepat. Atau sistem yang bisa ngerekomendasiin course pathway yang optimal buat setiap mahasiswa berdasarkan minat, kemampuan, dan career goals mereka.
Pendekatan Korea Selatan punya beberapa keunikan dibanding negara lain. Pertama adalah koordinasi nasional yang kuat banget antara Ministry of Education, Ministry of Science and ICT, dan National Information Society Agency. Nggak ada fragmentasi kebijakan, semuanya terintegrasi dalam grand strateg. Kedua, AI diintegrasiin across all education levels, bukan cuma di perguruan tinggi. Bahkan di sekolah dasar, mereka udah mulai ngenalin AI textbooksyang interactive dan personalized. Ketiga, dan ini yang paling penting, adalah pendekatan mereka yang human-centered dan ethics-oriented. Mereka waspada banget sama potensi dark side dari AI. Strategi Inovasi Pendidikan AI 2025 mereka mencakup AI-based Smart Learning Systems. Ada AI Math Tutor yang branded sebagai SuperLearning, yang bisa ngadaptasi tingkat kesulitan soal berdasarkan kemampuan real-time siswa. Ada juga kolaborasi intensif antara industri dan universitas, kayak yang dilakuin sama Hallym University dalam Global University Project mereka dari 2023 sampe 2027, di mana mereka ngediriin EduTech Soft Lab yang jadi innovation hub.
Ministry of Education Korea bahkan meluncurin AI Textbook buat sekolah dasar di mana digital learning tools ini bisa nganalisis perilaku belajar siswa secara real-time dan ngasih personalized feedback. Ini adalah level personalisasi yang dulu cuma bisa dibayangkan dalam private tutoring, sekarang tersedia buat semua siswa. Tentu aja ada concern tentangprivacy dan data security, tapi mereka punya framework yang ketat buat ngelindungin data siswa. Isu kesetaraan akses penting banget dalam konteks ini. Ada yang disebut sebagai problem “Hakwons” di Korea, yaitu lembaga bimbingan belajar swasta yang mahal dan cuma bisa diakses sama keluarga mampu. AI bisa jadi equalizer yang bikin quality education lebih demokratis. Tapi ada juga risiko bahwa mereka yang punya akses ke AI tools yang lebih canggih bakal makin unggul, bikin digital divide baru. Ini adalah salah satu concern yang mereka address secara serius dalam policy framework mereka.
Korea Selatan juga nggak kerja sendiri. Mereka gabung sama OECD's AI in Education consortium, berpartisipasi aktif dalam UNESCO's AI Competency Framework, dan promosiin regional cooperation di Asia tentang AI ethics dan pedagogy. Mereka sadar bahwa challenges yang mereka hadapi adalah global challenges, dan best practices perlu dibagiin lintas negara. Tentu aja nggak semua berjalan mulus. Ada berbagai challenges dan future directions yang masih harus dihadapi. Gimana nyeimbangin inovasi sama academic freedom? Gimana mastiin inclusion sambil ngatasi digital divide issues? Gimana bangun AI governance literacy di semua level pendidikan pas ini masih dalam formative period dan terus berevolusi?
Issue academic integrity dan plagiarism jadi kompleks banget di era AI. Saat mahasiswa bisa pake ChatGPT buat nulis essay, apa artinya originality? Gimana design assessment yang truly measure understanding dan bukan cuma ability to use AI tools? Faculty readiness dan training juga jadi bottleneck. Banyak dosen yang ngerasa overwhelmed sama perkembangan teknologi yang begitu cepet dan nggak confident ngintegrasiin AI dalam teaching mereka. Vision Korea buat 2030 ambi banget tapi grounded lah. Mereka ngebayangkin universitas masa depan yang fully leverage AI-driven personalized learning, di mana setiap mahasiswa punya learning journey yang unik dan optimal. Digital literacy, khususnya AI literacy, jadi foundational skill kayak halnya literacy tradisional. Universitas nggak lagi cuma tempat transfer knowledge, tapi jadi innovation hubs yang ngasilin solutions buat real-world problems.
Yang paling penting, ethics dan creativity tetap jadi core dari pendidikan. Mereka adopsi project-based learning yang fokus ke pprosesnya bukan cuma hasilnya. Mahasiswa belajar solution process design dan solution strategy development, nggak cuma nyari jawaban yang benar tapi paham berbagai cara buat approaching sebuah problem. Creativity dan critical thinking dikembangin lewat reading, discussion, dan meta-cognition, bukan cuma consumptionpasif dari konten.
Buat saya yang concern di pendidikan anak usia dini, ada beberapa poins yang berharga banget dari pengalaman Korea Selatan ini. Pertama, literasi digital dan AI harus dimulai sejak dini, tapi dengan approach yang age-appropriate. Kita nggak ngajarin coding ke anak TK, tapi kita bisa mulai bangun computational thinking lewat permainan dan aktivitas hands-on. Kedua, human values dan ethics harus jadi dasar sebelum kita ngenalin technology. Anak-anak harus paham dulu konsep empati, fairness, dan responsibility sebelum mereka berinteraksi sama AI. Ketiga, peran pendidik nggak bakal tergantiin sama AI, tapi bakal berevolusi. Guru bakal jadi facilitator, mentor, dan guide dalam learning journeyyang makin personalized.
    Korea Selatan ngajarin kita bahwa transformasi pendidikan di era AI butuh strategic vision yang clear, political willyang kuat, investment yang substantial, dan collaboration yang intensif antara berbagai stakeholders. Tapi yang paling penting adalah keeping the human element at the center. Technology adalah means, bukan end. Tujuan akhir dari pendidikan tetaplah sama yaitu ngembangin manusia yang utuh, yang nggak cuma cerdas secara intelektual tapi juga punya karakter, kreativitas, dan kemampuan buat berkontribusi positif bagi masyarakat.
    Pengalaman Oh Jin Park di ICERI 2025 ini ngasih saya pandangan buat ngeliat gimana si pendidikan di masa depan. Pertanyaannya adalah, apakah kita sebagai pendidik juga ortu udah siap buat adopsi lessons learned ini dan nyesuaiin sama konteks lokal? Atau kita bakal ketinggalan dan cuma jadi passive consumers dari technology yang dikembangin sama negara lain? AI revolution is not coming, it's already here.
Yogyakarta, 22 Oktober 2025
Nuri Aprilia H., M.Pd
 
No comments :
Post a Comment