Oleh-oleh ICERI
(International Conference on Education Research and Innovation)
Kemarin saya join ICERI (International Conference on Education Research and Innovation) yg ke 13, temanya Navigating the Human-AI Collaboration in Education: Challenges and Opportunities. Keynote speakernya Dr. Fauzan Adziman, Director General of Research and Development Kemdiktisaintek. Yg menarik perhatian saya dari opening beliau, ada satu quote yg disampaikan dari komunikasinya dengan mahasiswa di Oxford, “Engineering technologies, yes they grow exponentially, yet nowhere near the pace of our ideas.” Jadi intinya, teknologi emang berkembang cepet banget, tapi ide dan inovasi manusia sebenarnya jauh lebih cepet. Artinya manusia punya modal berkompetisi di era digital ini, asalkan mau ngoptimalin potensi SDMnya.
Bicara soal potensi SDM ini, Pak Fauzan sangat transparan maparin kondisi riset Indonesia saat ini. Data World Bank 2020 nunjukkin investasi R&D kita baru 0,28% dari GDP, jauh tertinggal dari negara maju. Gapnya cukup bikin saya ngelus dada, terutama dari sisi research capacity dimana negara high income punya 4.149 peneliti per sejuta penduduk sementara kita masih jauh di bawah itu. Tapi di balik kondisi yang bikin ngelus dada ini, beliau juga nyorotin peluang besar yg dimiliki Indonesia. Human Development Index Indonesia meningkat 0,77% per tahun dan yang lebih menjanjikan, proyeksi 2045 nanti 65% populasi Indonesia ada di usia produktif. Ini bonus demografi yang kalau dikelola dg baik, maka bisa bgt jadi game changer. Nah, buat manfaatin peluang ini, pemerintah nggak main-main.
Pemerintah udah punya blueprint jelas lewat Strategi Nasional AI 2020-2045 yg visinya creating an ethical and responsible AI ecosystem to strengthen global competitiveness towards a Golden Indonesia 2045. Yang beliau tekankan berkali-kali, fokusnya bukan cuman ngejar teknologi, tapi lebih ke human empowerment. Gimana AI bisa memberdayakan manusia, bukan MENGGANTIKAN. Dan ini yang bikin saya tertarik, karena konsep human empowerment ini langsung aplikatif di dunia pendidikan.
Nah, bicara soal AI di pendidikan, beliau nyampein tiga potensi besar yang perlu dipahami. Pertama, personalized learning. AI bisa kasih tailored educational experiences berdasarkan individual learning styles, pace, dan comprehension levels. Coba bayangin, sistem bisa nganalisis pola belajar setiap anak secara real time. Anak A saat itu mungkin lebih cepat paham lewat visual, sementara anak B butuh hands on experience. AI bisa otomatis nyesuain konten dan metode penyampaian materi sesuai karakteristik masing-masing anak. Menurut saya ke depannya AI bisa lebih jauh lagi, terutama di level PAUD. Ini bisa diaplikasiin buat kasih stimulus yg sesuai tahap perkembangan anak. Virtual learning assistant bisa banget ngebantu guru mantau perkembangan setiap anak, ndeteksi potensi learning difficulties sejak dini, atau bahkan ngidentifikasi “sesuatu” yg mungkin kelewatan pas observasi manual.
Potensi kedua adalah bridging digital divide. Pak Fauzan njelasin ini sebagai upaya extending quality educational resources to remote and underserved populations. Ini sangat relevan buat konteks Indonesia yg geografisnya kepulauan. Anak-anak di daerah 3T yg selama ini kesulitan akses guru berkualitas, bisa belajar lewat AI powered platform yg interactive dan adaptive, bukan cuman video pembelajaran biasa tapi sistem yg bisa kasih feedback real time, njawab pertanyaan, bahkan nglakuin assessment formatif secara otomatis.
Potensi ketiga yang nggak kalah penting adalah workforce development. Target pemerintah nglatih lebih dari satu juta warga dengan digital skills lewat berbagai inisiatif AI kek digital talent scholarship dan elevAIte Indonesia. Jadi ini tentang gimana nyiapin generasi yg siap ngadepin ekonomi digital, dimana AI dipakai bukan cuman sbg subject yg dipelajari, tapi juga sebagai tool buat ngembangin skill lain kayak critical thinking, problem solving, dan creativity.
Tapi ya, semua potensi besar ini pasti ada tantangannya. Dan ini yang menurut saya penting banget buat dikutuin bareng-bareng. Pak Fauzan sendiri mengakui ada 4 key challenges yaitu digital literacy gap (21,7% stakeholder IT di Indonesia masih ngeliat AI sebagai threat), infrastructure limitations (akses internet belum merata), data privacy and security (cybersecurity challenges), dan ethical implications (algorithmic bias, fairness, transparency). Nah menurut saya, keempat tantangan ini sebenarnya dasar banget dan belum ada solusi yang jelas, terutama soal ethical implications. Kalo AInya dilatih dengan data yang bias, hasilnya juga bisa jadi bias. Misalnya kalau dataset pembelajaran kebanyakan dari konteks urban middle class, maka AI nya bisa jadi kurang efektif untuk anak dari background yang beda.
Untuk njawabin tantangan-tantangan ini, Pak Fauzan notice pentingnya multi stakeholder collaboration. Government leadership, academic institutions, private sector, dan civil society harus kerja bareng. Beliau bilang pemerintah nggak bisa kerja sendiri, harus ada ecosystem thinking. Yang menarik, kolaborasi ini bukan cuman omon-omon. Ada contoh konkret industry pull scheme buat digitalization dengan partner industri kayak PT PLN, PT KAI, dll dan kampus kayak UNS, ITS, UI, dll. Ini bukti kalau ekosistem kolaboratif ini bisa jalan.
Selain ekosistem kolaborasi, beliau juga maparin roadmap temporal yang jelas. Short term (1-2 tahun) fokus establish regulatory frameworks dan develop AI ethics guidelines, medium term (3-5 tahun) scale AI applications dan build digital infrastructure, long term (2045) achieve AI sovereignty dan fully integrate AI for human empowerment. Roadmapnya ambi tapi realistislah kalau semua pihak konsisten ngejalanin.
Setelah dengerin semua paparan beliau, ada satu hal yang bikin saya kepikiran, terutama sebagai parent dan pendidik. Soal ethical implications AI yang disebutkan Pak Fauzan tadi, concern tentang algorithmic bias dan fairness itu kalo nggak dihandle dengan baik, maka bisa jadi boomerang. Apalagi buat aplikasi AI di pendidikan anak usia dini dimana data anak sangat sensitif. Saya belum ngeliat framework ethical yg cukup robust dalam ekosistem di Indonesia saat ini, meskipun roadmapnya udah ada di short term.
Yang paling saya apresiasi dari closing Pak Fauzan adalah penekanan human centric approach. Beliau reminder berkali-kali kalo AI itu tool buat empower manusia, bukan menggantikan. Dan ini yang harus jadi pegangan, terutama yang bergerak di pendidikan anak usia dini. Karena yg dibangun di usia golden age akan nentuin gimana generasi berikutnya menghadapi era AI.
Pulang dari konferensi kemarin, saya jadi yakin. Meskipun nggak semua pekerjaan di 2045 bisa diantisipasi, tapi paling nggak, bisalah mbekelin anak dengan dasar yang kuat. Apa itu?
Critical thinking, creativity, collaboration, communication, plus character values contohnya empati, integritas, dan resilience.
AI dan teknologi harus jadi enabler buat human empowerment, bukan tujuan itu sendiri. Jangan sampai ortu kejebak di formalitas atau kehebohan teknologi, tapi lupa esensi pendidikan yaitu MEMANUSIAKAN MANUSIA. Teknologi tanpa humanitas adalah bencana, humanitas dengan teknologi yg tepat adalah kemajuan. Semoga bermanfaat!
Yogyakarta, 16 Oktoberfest 2025
Tulisan ini sudah di post di instagram https://www.instagram.com/p/DP3OGHdk5BF/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA==
@nuriiaprilia mari mampir! Mari berdiskusi.
No comments :
Post a Comment